Rabu, 19 Desember 2012

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL LUAR NEGERI



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah
Warga Negara Indonesia (WNI) yang hendak bepergian ke luar negeri dikenai kewajiban untuk membayar Fiskal Luar Negeri (FLN). FLN merupakan salah satu dari sekian banyak kebijakan pemerintah berkenaan dengan pelaksanaan fungsi budgetair danfungsi regulerren. Fungsi budgetair dalam hal ini adalah berkenaan dengan peranan FLN sebagai salah satu pos penerimaan negara, dan fungsi regulerren berkenaan dengan upaya pemerintah untuk mengatur dan atau membatasi WNI yang hendak bepergian ke luar negeri.
Ketentuan berkenaan dengan FLN ini banyak menimbulkan kritik dari banyak kalangan karena dinilai memberatkan dan cenderung dianggap membatasi hak warga negara untuk berkunjung ke luar negeri. Disamping itu sudah banyak Negara lain (bahkan di kawasan Asia Tenggara) yang menghapuskan kebijakan ini. Dengan beberapa pertimbangan tersebut, banyak pihak memberikan masukan kepada pemerintah untuk menghapuskan kebijakan FLN. Wacana untuk menghapuskan FLN tersebut akhirnya berujung pada lahirnya kebijakan pemerintah untuk menghapus FLN secara bertahap yang akan mulai diberlakukan pada 01 Januari 2009 mendatang.
Dasar hukum berkenaan dengan penghapusan FLN (secara bertahap) terdapat pada ketentuan Pasal 25 ayat (8) Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang tidak memiliki NPWP dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”, yang secara a contrario berarti bahwa FLN tidak wajib dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang akan bertolak ke luar negeri dan telah memiliki NPWP atau belum berusia 21 tahun. Ketentuan tersebut merupakan penyempurnaan atau perubahan ketentuan dalam Pasal 25 ayat (8) Undang Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Peraturan Pemerintah yang dimaksud oleh ketentuan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2000 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri khususnya ketentuan pasal 1 dan pasal 2 yang pada intinya menyatakan bahwa setiap orang pribadi yang bertolak ke luar negeri wajib membayar Pajak Penghasilan (Fiskal Luar Negeri) sebesar Rp. 1.000.000,- jika menggunakan pesawat udara, Rp. 500.000,- jika menggunakan kapal laut, dan Rp. 200.000,- jika melalui perjalanan darat.
Dengan diberlakukannya UU Pajak Penghasilan yang baru (UU 36/2008) maka perlakuan mengenai Fiskal Luar Negeri juga mengalami penyesuaian. Jika dulu setiap orang yang hendak bepergian ke luar negeri diharuskan membayar fiskal luar negeri yang besarnya satu juta rupiah jika menggunakan pesawat udara (lewat udara) dan lima ratus ribu jika menggunakan kapal laut dan atau perjalanan darat, maka dengan ketentuan yang baru orang pribadi yang telah memiliki NPWP atau belum berumur 21 tahun dibebaskan dari kewajiban tersebut. Ketentuan ini akan mulai diberlakukan pada 01 Januari 2009 hingga akhir 2010. Selanjutnya mulai 01 Januari 2011 setiap orang yang akan bepergian keluar negeri dibebaskan dari kewajiban untuk membayar fiskal luar negeri.



1.2.Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:
·        Bagaimanakah ketentuan normatif mengenai Kebijakan Fiskal Luar Negeri yang ada di Indonesia?
·        Bagaimana dampak pemberlakuan kebijakan pembebasan Fiskal Luar Negeri di Indonesia?

1.3.Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan normatif Kebijakan Fiskal Luar Negeri yang ada di Indonesia, dan bagaimana dampak kebijakan tersebut.

1.4.Manfaat Penulisan
Manfaat praktis dari penulisan ini adalah untuk mengetahui seberapa besar dampak kebijakan pembebasan Fiskal Luar Negeri bagi Penerimaan Pajak dan apa saja manfaatnya dalam jangka pendek maupun jangka panjang.





BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kebijakan Publik
Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan publik (public policy)dalam literatur-literatur ilmu politikMasing-masing definisi tersebut memberikan penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Sementara disisi yang lain, pendekatan dan model yang digunakan oleh para ahli akhirnya juga akan menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut hendak didefinisikan. Kebijakan publik dalam perspektif penulis secara garis besar dipahami sebagai: (1) kebijakan publik yang menjalankan fungsi sebagai decision making process; (2) kebijakan publik sebagai sebuah proses managerial, yaitu kebijakan publik sebagai rangkaian kerja pejabat publik dalam membuat dan menerapkan sebuah kebijakan; (3) kebijakan publik dikategorikan sebagai bentuk intervensi pemerintah; dan (4)kebijakan publik merupakan sarana interaksi antar negara dan rakyatnya.
            Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan olehRobert Eyestone yang mengatakan bahwa: secara luas, kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Konsep Eyestone ini mengandung pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik mencakup banyak hal. Thomas R. Dyemengatakan bahwa: kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Walaupun batasan yang diberikan oleh Dye ini agak tepat, namun batasan ini tidak cukup memberikan pembedaan yang jelas antara apa yang diputuskan oleh pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan. Konsep ini bisa mencakup hal-hal yang bersifat privat yang sebenarnya sudah berada diluar domain kebijakan publik seperti KTUN (Keputusan Tata Usaha Negara).Richard Rose, seorang pakar ilmu politik, menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan dari pada suatu keputusan yang tersendiri. Definisi ini bersifat ambigu namun berguna karena kebijakan dipahami sebagai suatu arah atau pola kegiatan dan bukan sekedar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu. Carl Friedrichmemandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu. Definisi yang diberikan oleh Friedrich ini menyangkut dimensi yang sangat luas karena kebijakan tidak hanya dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh kelompok dan individu. Point pentingnya adalah kebijakan dilihat sebagai suatu perilaku (arah tindakan) yang mempunyai maksud dan tujuan.
Chandler dan Plano menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan pemanfaatan strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik. Menurutnya, kebijakanpublik merupakan bentuk intervensi negara untuk melindungi kepentingan masyarakat (kelompok) yang kurang beruntung. Definisi Chandler dan Plano tersebut menunjukkan bahwa kebijakan publik masuk dalam lapis pemaknaan kebijakan publik sebagai intervensi dari pemerintah.
Easton berpendapat bahwa kebijakan publik merupakan pengalokasian  nilai-nilai  kekuasaan  untuk  seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk  dari  sesuatu  yang  dipilih  oleh pemerintah  yang  merupakan  bentuk  dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Dalam hal ini kebijakan  publik  merupakan proses  pengambilan keputusan (decision making). Berdasarkan definisinya, sebuah kebijakan publik akan efisien ketika berada dalam ranah pemerintahan. Artinya, kekuasaan negara dalamkebijakan publik ini sangat besar.
Anderson mengungkapkan bahwa kebijakan publik merupakan kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah;
·         kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan;
·         kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah;
·         kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan;
·         kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;
·         kebijakan publik pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
Amir Santoso dengan menggunakan metode komparasi dari berbagai definisi kebijakan publik yang ada, membedakan kebijakan publik sebagai: (1) kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan pemerintah, yang mencakup tahap-tahap tertentu seperti perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan penilaian atau evaluasi, dan (2) kebijakan publik sebagai suatu pelaksanaan kebijakan yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu, dan kebijakan publik diangap sebagai suatu yang dapat diramalkan akibatnya.
Selanjutnya Arief Ramelan Karseno, MA.,Ph.D. menyatakan bahwa kebijakan publik dipahami sebagai kebijakan, baik politik, ekonomi, dan sosial yang diambil secara kolektif, demi kepentingan/keuntungan masyarakat secara bersama-sama (kolektif). Kebijakan  Publik  itu  bisa  berbentuk “aturan  atau rambu-rambu” perdagangan dalam hubungan ekonomi antara anggota masyarakat; bisa berbentuk pembuatan atau penyediaan barang yang akan dipakai bersama  (disebut barang publik) atau bahkan, bisa berbentuk hukum dan kode etik hubungan antara manusia sebangsa yang sering kita sebut dengan budaya yang diterima   secara umum dalam masyarakat itu.
Dari berbagai pendapat tersebut, berkaitan dengan konteks penulisan kali ini dengan objek penulisan kebijakan publik di bidang Fiskal Luar Negeri, maka penulis berpendapat bahwa Kebijakan(policy) adalah sebuah instrument pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha, maupun masyarakat (baik sebagai individu maupun kelompok). Dalam tahap perumusan kebijakan, memang dalam hal ini pemerintah mempunyai peranan yang besar dalam ‘mempositifkan’ berbagai macam kebijakan, namun hal ini tidak berarti terlepas dari dunia diluar pemerintahan (masyarakat) itu sendiri karena kita tahu berbagai macam bentuk kebijakan yang ada pada dasarnya harus ‘mengikuti kehendak pasar’ dan demi kepentingan yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat (tujuan tertinggi pembentukan suatu negara). Dalam tahap implementasi dan evaluasi, kebijakan publik yang telah digulirkan oleh pemerintah sebagai suatu pola perilaku yang mempertimbangkan arah tindakan dan sasaran-sasaran tertentu yang ingin dicapai, tidak akan terlepas dari peran masyarakat (baik itu kelompok maupun individu). Dengan kalimat lain dapat dijelaskan bahwa masyarakat berperan sebagai ‘kepanjangan tangan’ bagi pemerintah ketimbang sebagai objek baik dalam perumusan, pelaksanaan, maupun dalam tahap evaluasi kebijakan. Lebih lanjut, kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial, dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat, atau warga negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi, atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara. Dengan demikian ciri-ciri dari kebijakan publik adalah adanya peran dasar pemerintah, bersentuhan dengan kepentingan publik, berorientasi kepada kepentingan publik, dan melalui mekanisme positivisme hukum (apapun instrumen yang digunakan, baik itu produk hukum maupun produk politik), dan dalam koridor APBN atau dalam kerangka pola umum pembangunan berjangka (yang terencana) dari suatu negara.

2.2. Landasan Teori
Untuk memahami kebijakan publik setidaknya ada enam pendekatan/teori yang bisa dipakai. Pendekatan ini berdasarkan pada konstruksi silogisme (bagaimana cara memperoleh data dan membuat kesimpulan-kesimpulan), dan berdasarkan unit analisis yang menjadi obyek penulisan. Silogisme dibedakan menjadi dua, yaitu metode deduktif dan induktif. Metode Deduktif merupakan pendekatan atau cara berfikir untuk membuat kesimpulan-kesimpulan yang berangkat dari hal-hal yang bersifat umum (premis mayor) dan diakhiri dengan hal-hal yang bersifat khusus (premis minor). Metode Induktif bersifat sebaliknya, berangkat dari premis minor (hal-hal khusus) menuju ke premis mayor (general). Sedangkan pendekatan berdasarkan unit analisis, secara umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: individu, kelompok, dan institusi.
            Apabila kita menggunakan pendekatan metode: deduktif dengan unit analisis: individu, maka akan dikenal teori pertama untuk memahami kebijakan publik, yaitu: Rational Choice Theory (Public Choice). Rational Choice Theory berangkat dari asumsi bahwa individu-individu mempunyai kepentingan untuk memaksimalkan keuntungan-keuntungan pribadi (maximizing their own benefit). Public Choice sebagai sebuah analisis untuk memahami kebijakan publik meyakini bahwa manusia adalah individu-individu yang rasional, yang mengejar keuntungan-keuntungan untuk kemakmuran pribadi. Rational Choice Theory memandang: kebijakan publik digunakan untuk merespon kekuatan-kekuatan eksternal untuk mensupport mekanisme pasar, mengatasi market inefficiency, dan untuk mengatasi monopoli. Point penting dalam public choice adalah adanya regulatory policy, dimana kebijakan publik dibuat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional dan hukum-hukum ekonomi pasar, dengan ciri-ciri adanyacompetitive regulatory policy yang menjamin adanya persaingan yang sehat diantara pelaku-pelaku ekonomi sehingga tidak dimungkinkan terjadi monopoli, dan adanya proteksi terhadap kelompok-kelompok lemah.
            Teori yang kedua adalah Marxisme, dimana usaha pemahaman policy making process menggunakan pendekatan metode deduktif dengan unit analisis kelompok. Marxisme memandang ekonomi atau material sebagai faktor utama bagi bergeraknya suatu masyarakat. Pergerakan masyarakat sangat dipengaruhi oleh mode of production (sistem produksi) yang nantinya akan menentukan pola-pola hubungan produksi(relationship of production) yang ada di masyarakat dan alat-alat produksi (means of production). Hal tersebut akan memunculkan adanya dua kelompok besar masyarakat dalam marxisme, yaitu kelompok yang menguasai faktor-faktor produksi (kelompok borjuis) dan kelompok yang menjadi alat produksi (kelompok proletar). Kebijakan publik merupakan hasil dari interaksi antar klas yang di dalamnya ada ordinant dan sub ordinant.
            Neo Institusionalisme merupakan teori yang ketiga untuk memahami kebijakan publik yang menggunakan metode deduktif dengan unit analisis institusi. Neo Institusionalisme mengkaji bagaimana hubungan lembaga-lembaga negara dengan individu, tidak hanya bagaimana hubungan antar lembaga negara dan bagaimana konstitusi mengaturnya sebagaimana dalam paradigmaold institusionalisme. Lebih dari itu, dalam neo institusionalisme terdapat semacam ‘transaksi politik’ antara penguasa dengan individu. Kebijakan publik yang lahir bukan semata-mata karena elit (penguasa) punya otoritas, akan tetapi kebijakan publik bersifat transaksional, dan bersifat saling menguntungkan satu sama lain.
            Teori yang keempat adalah Welfare Economicdengan metode induktif dan individu sebagai unit analisis. Welfare Economic merupakan suatu pendekatan yang dipakai untuk memahami kebijakan publik yang berkaitan dengan keputusan-keputusan sosial dan kesejahteraan rakyat. Terdapat dua mainstream pemikiran ekonomi, yang pertama adalah Kapitalisme (manifesto non komunism), kedua adalah Sosialisme (manifesto komunism). Dalam kapitalisme, pasar sangat berperan dalam membentuk suatu kondisi equilibrium. Peran negara sangat diminimalisir karena yang berjalan adalah mekanisme pasar. Dalam welfare state, kebijakan publik berperan sebagai suatu solusi untuk mengatasi masalah market failure, dan berperan dalam mengkoreksi pasar, dengan tujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebaliknya dalam sosialisme, peranan negara menjadi sangat dominan dan malah menjadi determinant dalam mengupayakan kesejahteraan rakyat melalui berbagai macam kebijakan-kebijakannya.
            Selanjutnya teori yang kelima adalah Pluralisme atau Corporatisme yang merupakan upaya memahami kebijakan publik dengan menggunakan metode induktif dengan unit analisis kelompok. Corporatisme menekankan adanya peran kelompok-kelompok dominan sebagai yang berkepentingan atas kebijakan tertentu. Hal semacam ini dapat terjadi apabila sebagian besar faktor-faktor produksi yang ada di suatu negara ‘dikuasai’ oleh sekelompok atau beberapa kelompok atau golongan tertentu. Kepentingan kelompok-kelompok tersebut yang akan menentukan arah kebijakan yang seperti apa yang akan diambil oleh negara.
            Teori yang keenam adalah Stateisme yang menggunakan metode induksi dengan intsitusi sebagai unit analisis. Pendekatan ini sangat memperhatikan aspek-aspek pembentukan kebijakan, konfigurasi dari institusi (negara), dan kekuatan sistem ekonomi dan politik suatu negara. Negara dianggap sebagai suatu alat untuk melayani masyarakat melalui kebijakan yang dibuatnya. Seakan-akan tugas mendasar dari suatu negara adalah membuat kebijakan. Faktor yang dominan dari pembuatan kebijakan adalah adanya ‘kepentingan’ dari  negara itu sendiri.
            Di antara keenam teori tersebut, apabila merujuk pada penerapan kebijakan di bidang Fiskal Luar Negeri di Indonesia, maka pendekatan yang paling relevan menurut penulis adalah sesuai dengan teori Neo Institusionalisme (dengan menggunakan metode deduktif dengan unit analisis institusi). Ciri khas dari Neo Institusionalisme adalah kebijakan publik menjadi semacam hasil kesepakatan politik antara negara (penguasa) dengan rakyat (masyarakat), dan kebijakan publik bersifat transaksional (saling menguntungkan satu sama lain). Dalam konteks kebijakan berkaitan dengan pembebasan Fiskal Luar Negeri secara bertahap sebagaimana ketentuan dalam pasal 25 ayat (8) UU No 36 Tahun 2008, maka sifat transaksional ini dapat terlihat dari keberlakuan kebijakan dalam kurun waktu 01 Januari 2008 s/d 31 Desember 2010. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) yang telah memiliki NPWP diberikan pembebasan dari kewajiban membayar FLN, dengan begitu Pemerintah berharap Subyek Pajak yang belum berNPWP dapat tergerak hatinya untuk mendaftarkan diri guna memperoleh NPWP.
2.3. Metode Pencarian Data
Metode Pencarian Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode ‘snow ball effect rolling up’. Penulis menelusuri keberlakuan peraturan perundang-undangan dari mulai yang terbaru, kemudian dengan memperhatikan konsideran-konsideran dari peraturan tersebut penulis menelusuri ke belakang. Instrument yang digunakan untuk melakukan penelusuran peraturan adalah search engine yang ada di situs Direktorat Jenderal Pajak www:pajak.go.id yang dapat diakses oleh semua pihak. Keyword yang digunakan adalah Fiskal Luar Negeri. Keterbatasan instrument menjadi kendala tersendiri karena situs tersebut hanya menyediakan data sampai dengan tahun 1983.
Kendala lain yang dihadapi oleh penulis adalah keterbatasan akses data berkaitan dengan realisasi penerimaan pajak dari sektor Fiskal Luar Negeri dari tahun ke tahun, berapa WP yang mengkreditkan pembayaran FLN sebagai pajak masukan, dan berapa jumlah NPWP baru yang dilatarbelakangi oleh adanya kebijakan pembebasan FLN mulai 01 Januari 2009 kedepan. Hal ini karena sifat kerahasiaan data, disamping karena memang data yang dibutuhkan oleh penulis tidak tersaji. Beberapa data yang disajikan berkaitan dengan realisasi penerimaan FLN didapatkan dari sumber eksternal DJP.








BAB 3
ANALISIS

3.1. Pengertian Fiskal Luar Negeri
Fiskal Luar Negeri (FLN) adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang wajib dibayar oleh setiap Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri.
Pembayaran dan Pengkreditan FLN
1.      Tarif Fiskal Luar Negeri adalah :
·         Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), untuk setiap kali perjalanan dengan menggunakan pesawat udara atau melalui bandara;
·         Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah), untuk setiap kali perjalanan dengan menggunakan kapal laut atau melalui pelabuhan laut;
·         Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah), untuk setiap kali perjalanan dengan menggunakan sarana transportasi darat.
2.      Dilaksanakan dengan menggunakan Tanda Bukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri (TBFLN) di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri maupun tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak;
3.      Anggota keluarga sedarah semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, TBPFLN diisi dengan nama/identitas anggota keluarga yang bertolak ke luar negeri, dan NPWP yang dicantumkan adalah NPWP kepala keluarga.
4.      Pembayaran FLN bagi Wajib Pajak Orang Pribadi  (WPOP) Dalam Negeri merupakan pembayaran PPh pasal 25 yang dapat dikreditkan dengan PPh yang terutang pada SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak yang bersangkutan;
5.      Pembayaran FLN bagi WPOP yang tidak mempunyai NPWP dapat dikreditkan dengan PPh terutang dengan syarat WPOP tersebut mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP serta menyampaikan SPT Tahunan PPh ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)  tempat domisili WP;
6.      Pembayaran FLN bagi karyawan yang bertolak ke Luar Negeri tidak dapat dikreditkan dengan PPh Pasal 21 oleh karena merupakan pembayaran PPh Pasal 25.
7.      Pembayaran FLN bagi karyawan (tidak termasuk isteri dan anak), yang ditanggung pemberi kerja merupakan angsuran PPh pasal 25 bagi pemberi kerja yang dapat dikreditkan terhadap PPh terutang dalam SPT Tahunan Pemberi Kerja untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Pengecualian Fiskal Luar Negeri
Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri dikecualikan dari pembayaran FLN dengan cara sebagai berikut :
·         pembebasan langsung, diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang;
·         pembebasan melalui pemberian Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (SKBFLN) diterbitkan Unit Fiskal Luar Negeri (UPFLN) DJP.
Pembebasan Langsung:
a.      Anggota Korps Diplomatik, Pegawai Perwakilan Negara Asing. staf dari Badan-Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). tenaga ahli dalam rangka kerja sama teknik dan staf dari Badan/ Organisasi internasional yang mendapat persetujuan Pemerintah RI, sepanjang mereka bukan Warga Negara Indonesia (WNI) dan disamping jabatan resminya tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha di Indonesia beserta anggota keluarga dan pembantu rumah tangganya yang bukan WNI. 
b.      Pejabat negara, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Polisi Republik Indonesia (POLRI)  dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertolak ke luar negeri dalam rangka dinas yang menggunakan Paspor Dinas, dan dilengkapi dengan surat tugas/perjalanan dinas ke luar negeri  untuk setiap kali keberangkatan. Dalam hal keberangkatannya ke Luar Negeri dalam rangka penempatan di luar negeri, pembebasan diberikan juga kepada isteri dan anak-anaknya.
c.       Anggota TNI atau POLRI yang mendapat tugas sebagai pasukan PBB atau dalam rangka latihan bersama dengan pasukan negara lain di luar negeri.
d.      Petugas imigrasi yang melakukan tugas pemeriksaan keimigrasian dalam  pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional atau kapal laut perusahaan pelayaran nasional. 
e.      Jemaah haji yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Departemen Agama dan petugas pelaksana pemberangkatan haji yang pembiayaannya dibebankan pada dana ONH.
f.        Penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan lintas batas wilayah RI dengan mempergunakan Pas Lintas Batas sesuai dengan perjanjian lintas batas dengan negara terkait;
g.      Orang asing yang berada di Indonesia dengan visa turis, transit, visa sosial budaya, visa kunjungan usaha, dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. 
h.      Orang asing yang karena sesuatu hal diperintahkan oleh Pemerintah Indonesia untuk meninggalkan wilayah Republik Indonesia.
i.        Orang Pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah Kerjasama Ekonomi Sub regional ASEAN yang bertolak ke luar negeri dalam daerah kerja sama melalui pelabuhan atau tempat pemberangkatan ke luar negeri dalam daerah kerjasama.
j.        Orang Pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah Kerjasama Ekonomi Sub regional Indonesia-Australia (AIDA) yang bertolak ke Australia melalui pelabuhan atau tempat pemberangkatan ke luar negeri  dalam daerah kerjasama kecuali Bali.

Pembebasan melalui pemberian SKBFLN:
a.      Anggota TNI atau POLRI  dan PNS yang bertugas dibidang keamanan dan pelayanan pemerintahan di daerah perbatasan yang melaksanakan tugas dinas ke luar negeri dalam rangka kerja sama dengan negara yang berbatasan;
b.      Penduduk Indonesia yang bertempat tinggal tetap di Pulau Batam yang mempunyai Kartu Tanda Penduduk yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang di pulau tersebut, sepanjang mereka telah dipotong Pajak Penghasilan oleh pemberi penghasilan atau telah terdaftar sebagai wajib pajak dan telah memenuhi kewajiban Pajak penghasilannya pada Kantor Pelayanan Pajak Batam.  
c.       Tenaga Kerja Warga Negara Asing pendatang yang bekerja di pulau Batam, pulau Bintan ,pulau Karimun, sepanjang mereka telah dipotong PPh Pasal 21/26 oleh pemberi kerja, SKBFLN diterbitkan oleh UPFLN Direktorat Jenderal Pajak di daerah setempat;
d.      Orang asing yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak bertempat tinggal atau tidak bermaksud menetap di Indonesia dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari (seratus delapan puluh tiga) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sepanjang atas penghasilan tersebut telah dipotong PPh pasal 26 oleh pemberi penghasilan. 
e.      Mahasiswa atau pelajar asing yang berada di Indonesia dalam rangka belajar dengan rekomendasi dari pimpinan sekolah atau perguruan tinggi yang bersangkutan dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari  Indonesia.
f.        Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan penulisan dibidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan dibawah koordinasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau lembaga resmi Pemerintah lainnya serta Departemen Pendidikan Nasional, sepanjang tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari  Indonesia.
g.      Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka pelaksanaan program kerjasama teknik dengan mendapat persetujuan Sekretariat Kabinet serta tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. 
h.      Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan tugas sebagai anggota misi keagamaan dibawah koordinasi Departemen Agama dan misi kemanusiaan dibawah koordinasi Departemen terkait. 
i.        Penyandang cacat atau orang sakit yang akan berobat ke luar negeri atas biaya organisasi sosial termasuk 1 (satu) orang pendamping dengan persetujuan Menteri Kesehatan
j.        Anggota Korps Diplomatik, Pegawai Perwakilan Negara Asing, staf dari Badan-Badan Perserikatan Bangsa Bangsa, tenaga ahli dalam rangka kerja sama teknik dan staf dari Badan/ Organisasi internasional beserta isteri dan anak-anaknya yang merupakan anggota keluarga  seperti yang dimaksud dalam angka 1 huruf a; 
k.       Anak-anak yang berangkat ke Luar Negeri sepanjang umurnya tidak melebihi 12 tahun berdasarkan Bukti Surat kependudukan atau paspor yang bersangkutan.
l.        Orang pribadi yang berasal dari bekas propinsi Timor Timur yang berada di Indonesia dalam status pengungsi, yg telah memutuskan menjadi Warga Negara bekas Propinsi Timor Timur dan akan kembali Ke Timor Timur, berdasarkan rekomendasi Palang Merah Indonesia .
m.    WNI yang akan bekerja di Luar Negeri dalam rangka program pengiriman TKI dengan persetujuan Menteri Tenaga Kerja.
n.      Awak pesawat terbang dan awak kapal laut yang beroperasi di jalur internasional atau yang melakukan penerbangan, pelayaran, dan operasi berdasarkan perjanjian carter angkutan.
o.      Anggota misi kesenian, misi Olah raga dan misi keagamaan serta misi dagang atau pameran yang mewakili pemerintah RI di luar negeri.
p.      Mahasiswa atau pelajar Indonesia yang pergi ke Luar Negeri serta guru Indonesia dalam rangka program resmi pertukaran mahasiswa atau pelajar atau guru yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Badan Asing dengan persetujuan Menteri terkait.
q.      WNI yang bertempat tinggal tetap di luar negeri yang memiliki tanda pengenal resmi sebagai penduduk luar negeri tersebut dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia sepanjang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan pembebasan tersebut hanya diberikan untuk 4 (empat) kali dalam masa 1 (satu) tahun takwim.
r.       Orang Pribadi WNA yang bekerja di Indonesia untuk kepentingan Kantor Perwakilan Perusahaan Asing, dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Catatan :
huruf e, f, g, h, o, dan p tidak berlaku bagi isteri, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya.


Cara memperoleh SKBFLN
1.      Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat keberangkatan ke luar negeri.
2.      Bila permohonan disetujui, maka akan diberikan rekomendasi pembebasan FLN.
3.      Berdasarkan rekomendasi tersebut, unit FLN di pelabuhan laut atau bandar udara tempat pemberangkatan akan menerbitkan SKBFLN.
4.      Bagi WP luar negeri yang bekerja di Indonesia untuk kepentingan kantor perwakilan wilayah perusahaan asing, permohonan pembebasan kewajiban membayar FLN diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai unit pelaksana FLN dimana kantor perwakilan wilayah perusahaan asing tersebut berkedudukan, sebagai pengganti SKBFLN.

3.2. Landasan Hukum Penerapan Kebijakan Fiskal Luar Negeri
Sejarah berlakunya ketentuan mengenai Fiskal Luar Negeri di Indonesia dimulai ketika dilaksanakannya reformasi di bidang perpajakan pada Tahun 1983, dimana pada saat itu DPR menyetujui paket Rancangan Undang Undang Perpajakan yang diajukan Pemerintah untuk disahkan menjadi Undang Undang meliputi:
·      Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan;
·      Undang Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam ketentuan Pasal 25 ayat (8) UU 7/1983 diatur mengenai kewajiban Wajib Pajak yang akan bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Landasan hukum berkaitan dengan kewajiban membayar FLN sebelum reformasi UU Perpajakan Tahun 1983 adalah Keppres 84/1982, dimana menurut ketentuan tersebut setiap WPOPDN yang akan bertolak ke luar negeri dibebani dengan kewajiban membayar FLN sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah). Ketentuan ini berlaku sampai dengan tanggal 05 Oktober 1986 sampai dengan ditanda tanganinya KMK 828 dan 830 Tahun 1986 yang mengatur mengenai tarif FLN sebesar Rp. 250.000,- dan subyek pajak FLN WPOPDN dengan usia lebih dari 12 Tahun. Namun demikian KMK ini tidak membedakan antara subyek pajak yang menggunakan sarana kapal laut ataupun kapal udara untuk bepergian ke luar negeri. Walaupun demikian KMK ini terlihat cukup lama bertahan karena baru dilakukan penyesuaian pada 14 Juli 1990 dengan dikeluarkannya KMK 768/1990 yang membedakan tarif antara yang menggunakan kapal udara dengan kapal laut sebagai sarana bertolak ke luar negeri. Untuk WPOPDN yang bertolak ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara berlaku tarif 250 ribu untuk setiap keberangkatan, sedangkan yang menggunakan kapal laut dikenai kewajiban FLN sebesar 100 ribu rupiah.
            Periode berikutnya adalah masa keberlakuan PP 46/1994 yang merupakan ketentuan pelaksana dari amanat pasal 25 ayat(8) UU 7/1983. Dalam ketentuan pasal 1 dan pasal 2 PP 46/1994 disebutkan bahwa Orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri diwajibkan membayar Pajak Penghasilan, dan besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dibayar oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah :
·         Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) bagi setiap orang untuk setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara;
·         Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) bagi setiap orang untuk setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan kapal laut;
·         Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) bagi setiap orang untuk setiap kali bertolak ke luar negeri melalui darat.
PP 46/1994 ini mulai diberlakukan pada 01 Januari 1995 sampai dengan diterbitkannya PP 42/2000 pada tanggal 23 Juni 2000 yang memperbaruhi tarif FLN menjadi:
·         Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara;
·         Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan kapal laut; dan
·         Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) untuk setiap kali perjalanan dengan menggunakan sarana transportasi darat.

Ketentuan dalam PP 42/2000 tersebut sampai sekarang masih berlaku.
Periode berikutnya adalah masa keberlakuan UU Pajak Penghasilan yang baru (UU 36/2008). Dengan berlakunya UU 36/2008 maka perlakuan mengenai Fiskal Luar Negeri juga mengalami penyesuaian. Jika pada periode sebelumnya setiap orang yang hendak bepergian ke luar negeri diharuskan membayar fiskal luar negeri yang besarnya satu juta rupiah jika menggunakan pesawat udara (lewat udara) dan lima ratus ribu jika menggunakan kapal laut dan atau perjalanan darat, maka dengan ketentuan yang baru orang pribadi yang telah memiliki NPWP atau belum berumur 21 tahun dibebaskan dari kewajiban tersebut. Ketentuan ini akan mulai diberlakukan pada 01 Januari 2009 hingga akhir 2010. Selanjutnya mulai 01 Januari 2011 setiap orang yang akan bepergian keluar negeri dibebaskan dari kewajiban untuk membayar fiskal luar negeri. Tabel berikut ini akan menunjukkan bagaimana keberlakuan kebijakan Fiskal Luar Negeri di Indonesia dari tahun ke tahun.

Tabel 1
Kebijakan Fiskal Luar Negeri di Indonesia
Kurun Waktu
Dasar Hukum
Subyek Pajak
Objek Pajak
Tarif FLN
Sebelum Reformasi UU Perpajakan

n/a
n/a
n/a
n/a
06 Okt 86 s/d 13 Jul 90

Kepres 84/1982
KMK 828 dan 830/1986

WPOPDN
Pergi ke luar negeri

250 rb
14 Jul 90 s/d 31 Des 94

Kepres 28/90
KMK 768/90

WPOPDN
Pergi ke luar negeri

250 rb
100 rb
01 Jan 1995 s/d 22 Jun 00

PP 46/1994
SE-49/PJ.41/99 tgl 27 Okt 99
WPOPDN 12 Tahun Keatas

Pergi ke luar negeri

250 rb
100 rb
50 rb

23 Jun 00 s/d 31 Des 08

PP 42/2000

WPOPDN 12 Tahun Keatas

Pergi ke luar negeri

1 jt
500 rb
200 rb
01 Jan 2009 s/d 31 Des 2010

UU 36/2008
Pasal 25 ayat (8)
PP/KMK/SE???
WPOPDN Non NPWP & 21 Tahun Keatas

Pergi ke luar negeri

2,5 jt
1 jt
200 rb
01 Jan 2011 s/d dst

UU 36/2008
pasal 25 ayat (8a)
WPOPDN
Pergi ke luar negeri

FREE

3.3. Analisis Dampak Kebijakan Pembebasan Fiskal Luar Negeri
Selama ini FLN merupakan salah satu sumber pemasukan negara dari sektor pajak. Jika kita lihat dari besarannya, dari tahun ke tahun penerimaan dari sektor FLN selalu mengalami peningkatan yang signifikan (tabel 2).
Tabel 2
Realisasi Penerimaan Fiskal Luar Negeri
Uraian
Jumlah
Fiskal Luar Negeri 2005
Rp. 0,8 T
Fiskal Luar Negeri 2006
Rp. 1,2 T
Fiskal Luar Negeri 2007
Rp. 2,5 T
Fiskal Luar Negeri 2008*)
Rp. 2,8 T (Target 3,3 T)
*) Data sampai dengan Oktober 2008

Anggito Abimanyu (Kepala BKF Depkeu) dalam suatu kesempatan menyampaikan bahwa kebijakan pembebasan FLN yang akan diberlakukan secara bertahap mulai 01 Januari 2008 akan membawa konsekuensi logis berupa potensial loss lebih dari 3,3 T di tahun 2009. Jika pernyataan ini ditinjau dari paradigma konsep penyusunan RAPBN, memang benar ada loss harus ditanggung oleh pemerintah di tahun 2009 dst sebagai akibat berlakunya kebijakan pembebasan FLN ini. Pos pemasukan Negara dari sektor pembayaran FLN yang pada tahun 2008 (data s/d Oktober 2008) mencapai 2,8 T yang diperkirakan pada 2009 dapat meningkat menjadi lebih dari 3,3 T akan hilang pada RAPBN 2009.
Namun apabila kita mencermati lebih jauh, substansi dari pembayaran FLN sebenarnya merupakan bagian dari PPh Orang Pribadi yang dibayarkan pada saat ia hendak bertolak ke luar negeri dalam bentuk Fiskal Luar Negeri. FLN berlaku sebagai kredit pajak, sehingga pada akhir tahun (ketika melakukan pelaporan pajak) WP dapat  mengkreditkan FLN yang telah dibayar sebagai pajak masukan, atau jika PPh Pasal 29nya nihil dapat dimintakan restitusi. Jadi apabila diasumsikan bahwa semua orang yang pergi ke luar negeri sudah punya NPWP, maka FLN yang dibayarkan akan berfungsi sebagai setoran PPh Pasal 25 dan nantinya akan menjadi bagian dari perhitungan PPh Pasal 29 orang tersebut. Beberapa kemungkinan yang terjadi berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan FLN pada masa keberlakuan UU 7/1983 dapat digambarkan pada bagan 1 berikut:

Bagan 1
Perhitungan Riil Potential Loss


Pada masa keberlakuan UU 36/2008 (untuk kurun waktu 01 Januari 2009 s/d 31 Desember 2010), ketika orang yang sudah ber NPWP dan berusia dibawah 21 tahun dibebaskan dari kewajiban membayar FLN, maka potential income pemerintah dari sektor ini praktis hanya berasal dari WPOPDN yang bertolak ke luar negeri dan belum mempunyai NPWP dan sudah berusia diatas 21 tahun. Kebijakan ini jelas sekali bertujuan untuk mendorong WPOPDN yang sering atau paling tidak akan bepergian ke luar negeri untuk mendaftakan diri guna memperoleh NPWP. Jadi tujuan utama dari kebijakan ini adalah dalam rangka Ekstensifikasi Wajib Pajak atau guna memperluas basis Subyek Pajak. Bagan 2 berikut ini akan memperjelas bagaimana potential income yang seharusnya menjadi perhitungan potential loss FLN di tahun 2009 dan 2010.
Bagan 2
Potential Incoma FLN 2009 dan 2010


Pemberlakuan FLN sendiri dalam tataran administrativeterkendala dengan beberapa hambatan atau terdapat bias of purposes. Sebagai contoh adalah terhadap WPOP yang sumber penghasilannya berasal dari satu pemberi kerja dan tidak mempunyai penghasilan lain diluar itu. Ketika ia lapor SPT, maka kedudukannya akan menjadi LB (lebih bayar) sebagai akibat pembayaran FLN. Jika ia meminta restitusi, maka ini akan menjadi beban pekerjaan yang tersendiri bagi DJP. Tentu saja hal ini merupakan inefisiensi karena hanya memutar-mutar uang yang sebenarnya tidak berguna atau justru memberatkan kedua belah pihak baik bagi WP maupun DJP. Nah dalam keadaan yang demikian maka timbul pertanyaan apakah sebenarnya yang menjadi tujuan diterapkannya ketentuan mengenai FLN? Apakah untuk mendongkrak tingkat pendapatan (fungsi budgetair)?  Jika ini yang menjadi pertimbangan maka hal tersebut tidak tepat, karena bagi orang yang bepergian ke luar negeri dan telah memiliki NPWP maka pembayan FLNnya berlaku sebagai kredit pajak yang bersifat mengurangi PPh terutang di perhitungan PPh Pasal 29-nya. Lalu ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa pemberlakuan FLN merupakan suatu upaya dari pemerintah untuk membatasi warganya yang akan pergi ke luar negeri. Harapan dari pemerintah adalah untuk meminimalisir capital drain di dalam negeri. Nah, jika yang menjadi alasan adalah dalam menjalankan fungsi regulerren, maka kritik yang timbul adalah bahwa bepergian ke luar negeri merupakan bagian dari hak dasar manusia sebagai makhluk sosial, oleh karena itu negara tidak boleh membatasi warganya yang akan bepergian ke luar negeri (dengan berbagai keperluan). Jika yang menjadi alasan adalah capital drain, maka ini hanyalah merupakah phobia belaka dari pemerintah, karena justru semakin mobile pengusaha ia akan semakin banyak mendapatkan relasi, sehingga usahanya dapat berkembang sejalan dengan mobilitasnya. Maka yang harus dilakukan pemerintah adalah memperbaiki iklim investasi dan bukan membatasi warganya yang akan bepergian ke luar negeri. Dengan adanya kenyataan-kenyataan regulasi berkaitan dengan fiskal luar negeri, maka yang nampak dari kacamata penulis, apakah sebenarnya yang ada dibalik pemberlakuan kebijakan mengenai fiskal luar negeri ini secara adalah:
Kurun waktu 01 Januari 1984 s/d 31 Desember 2008
FLN berfungsi lebih sebagai alat politik dari penguasa untuk membatasi rakyatnya yang akan bepergian ke luar negeri dengan membebaninya dengan kewajiban pembayaran pajak (atau lebih tepatnya mungkin bisa disebut dengan bea) dari pada sebagai alat untuk menambah kas negara. Lebih tepat disebut dengan bea? Ya, jika ini terjadi pada orang pribadi yang belum memiliki NPWP. FLN yang sebenarnya berlaku sebagai kredit pajak tidak bisa ‘dimanfaatkan’ oleh orang yang membayarnya jika ia tidak atau belum memiliki NPWP. Bukan sebagai alat untuk menambah kas negara? Ya, karena FLN berlaku sebagai kredit pajak bagi mereka yang mempunyai NPWP. Jadi jika diasumsikan semua orang yang membayar FLN memiliki NPWP, maka FLN bukan merupakan alat untuk menambah kas negara.
01 Januari 2009 s/d 31 Desember 2010
Pemberlakuan ketentuan pembebasan FLN, yaitu pembebasan FLN bagi orang yang telah memiliki NPWP dan berusia dibawah 21 tahun. Hal ini merupakan propaganda dari DJP untuk meningkatkan ratio kepemilikan NPWP. Upaya ini dikenal sebagai Ekstensifikasi Wajib Pajak. Kritik dari penulis adalah, pemberlakuan FLN ini merupakan iming-iming DJP terhadap orang pribadi yang memiliki tingkat kesaradaran pajak yang rendah (yang dibuktikan dengan belum memiliki NPWP) namun memiliki potensi yang tinggi untuk membayar pajak (yang dibuktikan dengan kemampuan ekonomisnya dengan melakukan perjalanan ke luar negeri). Hal ini mungkin akan efektif apabila diterapkan pada orang pribadi yang pemahaman tentang administrasi perpajakannya rendah. Namun kebijakan ini tidak akan berlaku efektif terhadap orang yang memiliki pemahaman yang baik tentang administrasi perpajakan, yang mengetahui bagaimana cara menghitung pph, apa itu kredit pajak, bagaimana cara mengkreditkan FLN, dsb, sedangkan tingkat kesadaran pajaknya rendah. Ia akan berfikiran bahwa apabila ia ‘memanfaatkan’ kebijakan ini, dalam arti ia mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP (dengan tujuan memperolah bebas fiskal jika ia pergi ke luar negeri), maka ia akan dihadapkan pada konsekuensi untuk mengisi SPT, menghitung pajak, membayar pajak, dan melaporkan SPTnya ke DJP. Dengan kalkulasi ini maka ia akan berfikir ulang, mana yang lebih menguntungkan buatnya. Apakah mendaftarkan diri untuk memperolah NPWP dengan segala konsekuensinya, atau tidak mendaftarkan diri dengan konsekuensi membayar FLN jika bepergian ke Luar Negeri.
Kritik dari penulis adalah, kebijakan FLN yang berlaku di kurun waktu 01 Januari 2009 s/d 31 Desember 2010 merupakan propaganda yang bersifat ‘menjebak’ bagi masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah WP. Apabila DJP ingin melaksanakan ekstensifikasi wajib pajak maka seyogianya menggunakan cara-cara yang lebih elegan. Misalnya meningkatkan pemahaman masyarakat akan arti penting pajak, keuntungan-keuntungan yang didapatkan apabila memiliki NPWP, meningkatkan mutu pelayanan, dsb. Namun demikian cara-cara seperti ini (Esktensifikasi Wajib Pajak dengan sasaran WPOPDN yang sering ataupun akan pergi ke luar negeri akan tetapi belum memiliki NPWP dan sudah berusia 21 tahun) menurut penulis sah-sah saja dan kebijakan pembebasan FLN bagi WPOPDN yang sudah berNPWP ini cukup fair karena dinilai saling menguntungkan baik bagi masyarakat maupun DJP (pemerintah).
01 Januari 2011 dst
Pembebasan FLN bagi siapa saja yang hendak bepergian ke Luar Negeri. Hal ini merupakan kebijakan yang ideal yang sebenarnya telah diterapkan sejak lama di banyak negara. Dengan asumsi bahwa setiap WPOPDN yang bepergian ke luar negeri adalah orang dengan penghasilan diatas PTKP, dan oleh karenanya mereka sudah memiliki NPWP, dan karena FLN itu sendiri berfungsi sebagai kredit pajak, maka kebijakan pembebasan FLN ini secara rasional kebijakan ini seharusnya tidak akan berdampak terhadap penerimaan pajak. Bepergian ke Luar Negeri merupakan hak dari setiap warga negara, dan negara wajib menjamin kebebasan ini dan hendaknya berfungsi sebagai fasilitator. Dengan adanya kebijakan ini diharapkan justru iklim investasi akan meningkat sejalan dengan dipermudahnya orang untuk keluar masuk ke luar negeri atau ke dalam negeri. Kritik penulis, ketentuan ini selayaknya didukung oleh kebijakan di bidang pelayanan perpajakan yang memuaskan bagi seluruh Wajib Pajak, dan juga upaya merubah paradigma masyarakat dari pajak merupakan suatu beban menjadi pajak sebagai kehormatan dalam menjalankannya.


BAB 4
PENUTUP

4.1. Simpulan
·         Warga Negara Indonesia (WNI) yang hendak bepergian ke luar negeri dikenai kewajiban untuk membayar Fiskal Luar Negeri (FLN).
·         Fiskal Luar Negeri (FLN) adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang wajib dibayar oleh setiap Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri dengan tarif Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), untuk setiap kali perjalanan dengan menggunakan pesawat udara atau melalui bandara; Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah), untuk setiap kali perjalanan dengan menggunakan kapal laut atau melalui pelabuhan laut; dan Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah), untuk setiap kali perjalanan dengan menggunakan sarana transportasi darat.
·         Ketentuan berkenaan dengan FLN ini banyak menimbulkan kritik dari banyak kalangan karena dinilai memberatkan dan cenderung dianggap membatasi hak warga negara untuk berkunjung ke luar negeri. Disamping itu sudah banyak negara lain (bahkan di kawasan Asia Tenggara termasuk Malaysia dan Singapura) yang menghapuskan kebijakan ini.
·         Wacana untuk menghapuskan FLN tersebut akhirnya berujung pada lahirnya kebijakan pemerintah untuk menghapus FLN secara bertahap yang akan mulai diberlakukan pada 01 Januari 2009 mendatang dengan perlakuan sebagai berikut: kurun waktu 01 Januari 2009 s/d 31 Desember 2010, WPOPDN yang sudah mempunyai NPWP dan belum berusia 21 tahun dibebaskan dari kewajiban membayar FLN; kurun waktu 01 Januari 2011 semua WPOPDN yang hendak bepergian ke luar negeri bebas dari kewajiban membayar FLN.
·         Dampak kebijakan FLN dalam kurun waktu 01 Januari 2009 s/d 31 Desember 2010 secara matematis memang menghilangkan potensi penerimaan pajak dari sektor FLN sebesar lebih dari Rp. 3,3 T di tahun 2009 dan diatas Rp. 4 T di tahun 2010. Namun demikian hal ini bukan berarti DJP akan menderita kerugian yang besar, karena sifat pembayaran FLN itu sendiri yang berfungsi sebagai kredit pajak bagi yang membayarnya.
·         Dengan asumsi bahwa FLN dibayar oleh WPOPDN yang sudah berNPWP, maka kebijakan pembebasan FLN ini tidak akan berdampak besar pada sisi penerimaan pajak.
·         Kebijakan pembebasan FLN lebih banyak bertujuan untuk menjaring NPWP baru dengan sasaran WPOPDN yang sering atau merencanakan bepergian ke luar negeri di tahun 2009 s/d 2010 dan belum berNPWP. Hal ini dibuktikan dengan pengenaan tarif yang lebih besar pada 2009-2010 yaitu 2,5 jt melalui bandara dan 1 jt melalui pelabuhan laut.
·         Efektifitas keberlakuan kebijakan pembebasan FLN ini jika memang tujuannya untuk melakukan Ekstensifikasi Wajib Pajak, maka akan dapat terlihat dengan meneliti seberapa besar peningkatan jumlah NPWP baru.
4.2. Saran
·           Kebijakan FLN merupakan salah satu diantara sedikit kebijakan pemerintah yang bersifat win win solution baik bagi warga masyarakat maupun bagi pemerintah. Ini dapat terlihat dengan terakomodasinya kepentingan kedua belah pihak. Masyarakat membutuhkan pembebasan FLN karena dinilai tidak efisien (bagi yang sudah berNPWP) dan bersifat membatasi kebebasan warga Negara untuk bepergian ke luar negeri. Sedangkan dari sisi pemerintah (dalam hal ini DJP) kebijakan ini berpeluang untuk menambah jumlah Wajib Pajak terdaftar. Saran dari penulis adalah, untuk meningkatkan jumlah Wajib Pajak terdaftar DJP seyogianya menggunakan cara-cara yang lebih komprehensif seperti meningkatkan mutu pelayanan dan terus aktif berupaya meningkatkan kesadaran perpajakan warga masyarakat. Dengan cara ini diharapkan tanpa adanya ketentuan pembebasan luar negeri bertahap pun (kurun waktu 01 Januari 1009 s/d 31 desember 2010) masyarakat yang sudah memenuhi ketentuan normatif untuk mempunyai NPWP akan berbondong-bondong menuju KPP setempat untuk mendaftarkan diri guna memperoleh NPWP.
·           Untuk mengetahui sejauh mana dampak kebijakan pembebasan FLN ini, dan untuk mengetahui efektivitas keberhasilannya sehubungan dengan upaya menambah jumlah WP baru pada kurun waktu 2009-2010, penulis menghadapi kendala berkaitan dengan data-data riil penerimaan FLN dari tahun ke tahun, dan penambahan jumlah WP terdaftar dengan tujuan untuk ‘memanfaatkan’ kebijakan ini. Dengan demikian disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana dampak kebijakan ini berkaitan dengan penambahan jumlah WP terdaftar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar