Jumat, 16 Maret 2012

kasus dan penyelesaian masalah (ekonomi dan hukum)


Perkawinan Hukum-Ekonomi dalam Kasus Suap & Korupsi


BEBERAPA kasus terakhir yang membawa nama-nama seperti anggodo, gayus, sampai dengan Miranda Gultom merupakan sederet gambar dalam perwajahan kasus korupsi dan suap di negeri ini.

Lantas mengapa kita selama ini hanya mengkaji dan berfikir dari sudut pandang yuridisnya saja? Pernahkan kita menghitung-hitung berapa besar kerugian negara dan masyarakat dari ulah beberapa oknum tersebut? Maka daripada itu, penulis mencoba membahas dan mengkaji beberapa kasus di atas dengan cara mengawinkan hukum dan ekonomi dalam satu ranjang kesatuan. 

Ketika kita berbicara masalah suap dan korupsi, jelas ini merupakan kasus yang bisa dibilang extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Maka dalam penanganannya pula kita wajib extra. Dalam kasus korupsi misalnya, berdasarkan UU No 30 tahun 2002 yang berkaitan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan salah satu lembaga yang dibentuk oleh negara khusus untuk menangani kasus korupsi di negara ini, maka kewenangannya pun begitu ampuh. 

Di samping itu untuk kasus suap juga sama, KPK memiliki peran di sini untuk menginvestigasi proses secara lengkap dan total. Namun setelah itu, kita patut paham juga, bahwa UU KPK  kini memang dibantu oleh beberapa undang-undang lainnya yang memperlancar proses materil dan formil dalam penanganan kasusnya, sebut saja Peradilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Tipikor dibuat memang dalam rangka mendukung proses formil dalam penegakan hukum di atas kasus suap dan korupsi.

Tipikor memberi ruang bagi para aparat penegak hukum yang sudah menjalankan proses penyelidikan dan penyidikan yang begitu memakan waktu hingga akhirnya disempurnakan dengan proses persidangan. Lantas sudah efektifkah undang-undang korupsi yang ada selama ini? Nyatanya belum, dimana masih banyak kerancuan yang ditemukan, hanya sedikit orang yang melakukan korupsi hingga merugikan keuangan negara sampai dengan triliunan rupiah tapi tidak dihukum mati, malah hanya dihukum sekian tahun penjara saja. Asas keadilan dan kepastian hukum di dalam kasus suap dan korupsi kini belum bisa ditegakkan karena komitmen dari para penegak hukum belum sebegitu kental semestinya.

Hal inilah yang kemudian memunculkan efek kerugian dari sisi ekonomi yang begitu besar terhadap negara dan masyarakat. Bagaimana tidak? Dana yang dihimpun dari masyarakat untuk masyarakat dan kepentingan umum, tapi diberangus oleh segelintir orang yang mempunyai kekuasaan dan kesempatan. 

Parahnya lagi mereka berkeliaran dengan begitu mudahnya dan amannya. Sampai-sampai hukuman tidak membuatnya jera dan takut. Triliunan rupiah yang hilang dari negara ini terkadang tidak bisa dikembalikan karena beberapa hal yang tidak beralasan. Tapi kita sebagai manusia Indonesia yang hanya sendiri dan lemah, tidak bisa menuntut harta itu sampai maksimal. Dan pada akhirnya kasus suap dan korupsi akan menjadi komedi putar dalam nusantara ini. Sampai kapan hal ini terus terjadi? hanya kita yang dapat mengubahnya.



kasus dan penyelesaian masalah (ekonomi dan hukum)


Kasus Larinya Dana-Dana Konglomerat ke Luar Negeri

Hal-hal yang telah disebutkan diataslah yang mungkin juga terjadi dan dirasakan oleh para konglomerat dan birokrat Indonesia (seperti birokrat Bank BNI, Adrian Waworuntu) yang melarikan diri dan melarikan dananya ke luar negeri. Mereka merasa penegakkan hukum masih dilakukan secara main-main dan tidak konsisten, sampai kapanpun mereka tidak akan mau kembali ke Indonesia. Memang masalah konglomerasi di seluruh dunia sangat terkait dengan hubungan erat mereka dengan kekuasaan, tetapi hal ini bukanlah tidak mungkin diatur sebaik-baiknya dengan adanya itikad baik. Dapat saja unsur pemaaf dimasukkan dalam tawar menawar ini untuk membujuk kembalinya dana mereka ke Indonesia, akan tetapi hal ini tidak berarti tanpa menyelesaikan akar masalah yang sebenarnya. Daripada berkutat-kutat mencari akar masalah dan penyelesaian yang tidak selesai-selesai, lebih baik pendidikan nilai-nilai moral sudah mulai diperhatikan untuk ditanamkan sejak dini kepada setiap lapisan masyarakat.
Masalah lain untuk membawa dana-dana dari luar negeri ke Indonesia adalah ketidaksatuan pemikiran dari para pimpinan Indonesia dalam memecahkan masalah ini, yaitu melakukan segala cara agar dana-dana konglomerat dari luar negeri dapat masuk kembali ke Indonesia walaupun kepastian hukum tidak diindahkan, ataukah hukum harus tetap ditegakkan walaupun kemungkinan dana-dana dan para konglomerat tidak akan mau kembali ke Indonesia sehingga justru tidak memberikan keuntungan bagi perekonomian Indonesia. Kritik dapat diajukan terhadap masalah ini karena kembalinya muncul dilema atas adanya conflict of interest/ konflik kepentingan untuk tujuan yang berbeda, karena kedua tujuan tersebut tidak mungkin dapat dicapai, bahkan dapat dikatakan mustahil untuk mencapai salah satu dari tujuan tersebut saja.

Jika ditinjau secara etika maka hal tersebut dapat ditinjau beserta kritik-kritiknya sebagaimana berikut :
1.    Dari sudut utilitarianism, kemanfaatan bagi sebanyak mungkin orang, apalagi bagi perekonomian bangsa dan negara hal ini sangat dibutuhkan. Akan lebih baik apabila dana-dana yang telah keluar kembali ke Indonesia untuk dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. Tentunya hal ini bukanlah sesuatu yang mudah karena negara dalam bernegosiasi harus lebih toleran dan tidak ketat kepada para konglomerat Indonesia di luar negeri tersebut, dengan memberikan tawaran-tawaran tertentu yang menguntungkan kedua belah pihak.
Kritik terhadap hal ini : Tindakan ini akan mengorbankan kepentingan penegakkan hukum di satu sisi. Bagaimanapun para konglomerat tersebut telah bersalah karena telah melakukan kejahatan korporasi di Indonesia. Namun penegakkan hukum sangat sulit karena harus lintas negara harus dihadapiu dalam  hal ini.
2.    Dari sudut Kantianism yang berpendapat bahwa semua orang, tidak terkecuali para penguasa, konglomerat atau siapapun harus tegak dalam nilai-nilai moral dan salah satunya adalah nilai-nilai hukum. Dari pendekatan ini bagaimanapun sulit atau mustahilnya penegakkan hukum itu dilakukan tetapi hal ini harus tetap dilakukan secara konsisten.
Kritik terhadap hal ini : Pendapat tersebut tidak mengindahkan berapa banyak keuntungan yang didapat bangsa Indonesia jika berhasil melakukan negosiasi kepada para konglomerat dan dana-dana dapat berhasil kembali ke dalam negeri. Selain itu ada pertanyaa kecil yang harus dijawab : apakah para penegak hukum untuk saat ini telah mampu mengawal kekonsistenan hukum di Indonesia ?

Demikianlah terjadinya conflict of interest atas pendapat-pendapat etis yang dikemukakan di atas. Pendapat penulis adalah sebaiknya :
1.    Hal pertama dan terpenting adalah bagaimana agar kejadian ini tidak terjadi lagi, yaitu dengan cara :
a.    Pendidikan nilai-nilai moral sudah mulai diperhatikan untuk ditanamkan sejak dini kepada setiap lapisan masyarakat.
b.    Para penegak hukum sudah memiliki tingkat kesadaran dan professional ethics yang tinggi untuk mengawal kekonsistenan hukum di Indonesia sehingga tidak ada lagi barrier/penghalang-penghalang yang justru tidak disukai oleh para pebisnis.
2.    Dari ditinjau baik dan buruk, jika memecahkan masalah ekonomi lebih didahulukan daripada masalah hukum maka pendekatan yang terbaik adalah dengan pendekatan cost benefit atau untung rugi yang dianut oleh etika utilitarianism. Kita sepakat untuk hal ini demi masuknya kembali dana-dana asli Indonesia yang berada di luar negeri pimpinan hendaknya memberi toleransi dan kelonggaran-kelonggaran agar para konglomerat Indonesia di luar negeri dapat tertarik untuk bernegosiasi dan menanamkan kembali modalnya ke Indonesia untuk memicu pertumbuhan ekonomi dan penambahan lapangan kerja yang signifikan. Dengan keberhasilan tujuan ini tentunya akan diikuti oleh investor-investor dari luar negeri baik yang memang asli merupakan investor Indonesia maupun investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pengaturan dan perlindungan penanaman modal ini juga harus mulai dilaksanakan secara konsisten dan menarik sehingga tidak ada lagi pebisnis yang ingin melarikan uangnya keluar negeri.

kasus dan penyelesaian masalah (ekonomi dan hukum)


Pelangaran Hukum dalam kasus Temasek, Skandal besar dalam penegakan demokrasi ekonomi di Indonesia

November ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akhirnya menjatuhkan vonis terkait perkara dugaan monopoli yang dilakukan Temasek Holding Pte Ltd pada Industri Telekomunikasi di Indonesia. Perkara Temasek adalah perkara terpenting sepanjang sejarah berdirinya KPPU mengingat begitu strategisnya industri telekomunikasi seluler sekarang da untuk masa yang akan datang. Tak heran jika berbagai kontroversi menghiasi pemeriksaan perkara tersebut sejak saat didaftarkan oleh Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, sampai saat menjelang pengumuman keputusan dan bahkan akan terus berlanjut jika kasus ini kelak harus diselesaikan sampai tahap Mahkamah Agung.

Salah satu kontroversi yang sangat penting untuk disimak dari kasus ini adalah DUGAAN terjadinya paling sedikit dua pelanggaran hukum dalam kasus ini. Pelanggaran hukum tersebut tak hanya memiliki implikasi pidana, tetapi juga batalnya seluruh proses pemeriksaan perkara Temasek oleh KPPU. Dua pelanggaran hukum tersebut adalah dugaan pemakaian keterangan palsu terkait hasil penelitian (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM UI) dan dugaan pebuatan tanggal mundur dalam dokumen kesimpulan Tim Pemeriksa dan Dokumen pembentukan Majelis Komisi. 

Yang pertama adalah dugaan keterangan palsu terkiat hasil penelitian LPEM-UI. Pada hari Rabu 12 September 2007 Komisi Negara Watch (KNW) telah melaporkan Ketua KPPU Muhamad Iqbal dan Nawir Messi ke Polda Metro Jaya. Laporan tersebut berhubungan erat dengan sejumlah dokumen penting dan resmi yang diduga merupakan dokumen palsu dan tidak sah. 

Dalam dokumen KPPU berjudul ”Dugaan pelanggaran UU No 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh Kelompok Usaha Temasek Holding Pte Ltd (Temasek)” yang ditanda-tangani oleh Ir. M. Nawir Messi,M.Sc tertanggal 26 April 2007 selaku Tim Pemeriksa Perkara No. 07/KPPU-L/2007 beberapa kali dikutip data Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat – FEUI (LPEM UI) berjudul ”Studi Mengenai Kerugian Konsumen Akibat Persaingan Usaha Yang Tidak Sehat di Industri Telepon Seluler di Indonesia, 2007”.

Belakangan diketahui bahwa hasil penelitian LPEM UI ”Studi Mengenai Kerugian Konsumen Akibat Persaingan Usaha Yang Tidak Sehat di Industri Telepon Seluler di Indonesia, 2007” tersebut baru ada pada bulan Mei 2007 yang ditandatangani oleh Kepala LPEM UI, Dr. M. Chatib Basri pada bulan Mei 2007, yang mana penelitian tersebut dilakukan atas permintaan PT. APCO Indonesia yang merupakan perusahaan jasa Publik Relation dari PT ALTIMO Rusia, baik di Indonesia maupun diluar negeri .

Artinya kemungkinan besar KPPU telah menggunakan hasil penelitian LPEM UI sebagai dokumen penyelidikan sebelum hasil penelitian itu sendiri ada, karena dokumen dari LPEM UI baru diterbitkan pada bulan Mei 2007 sedangkan KPPU telah mengeluarkan dokumen berjudul ” Dugaan pelanggaran UU No 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh Kelompok Usaha Temasek Holding Pte Ltd (Temasek) ” pada tanggal 26 April 2007,bagaimana mungkin ?.

Dengan demikian dapat diduga KPPU telah menggunakan dokumen palsu dan juga memalsukan surat atau keterangan palsu dalam pemeriksaan perkara Temasek. Penggunaan dokumen palsu adalah delik pidana serius yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP). Penggunaan dokumen palsu dalam pemeriksaan suatu perkara otomatis akan mengakibatkan semua proses pemeriksaan beserta hasilnya batal demi hukum. 

Yang kedua adalah pembuatan tanggal mundur dalam dokumen kesimpulan tim pemeriksaan dan dokumen pembentukan majelis komisi. Pada akhir Oktober 2007, Salah seorang anggota Tim Pemeriksa, Sdr Benny Pasaribu mengeluarkan pendapat bahwa tanggal kesimpulan Tim Pemeriksa Lanjutan dan tanggal pembentukan Majelis Komisi dibuat mundur.Artinya tanggal yang tertuang di dokumen kesimpulan Tim Pemeriksa Lanjutan dan dokumen pembentukan Majelis Komisi adalah tidak benar. 

Apapun motifnya, pembuatan tanggal mundur ini tidak dapat dibenarkan secara hukum. Karena dengan pembuatan tanggal mundur tersebut berarti merubah informasi tentang kapan sebenarnya penanda-tanganan dokumen Tim Pemeriksaan dan pembentukan Majelis Komisi dilakukan. Bahkan pembuatan tanggal mundur ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana diaturdalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi .

Satu hal yang dapat disimpulkan dari pernyataan Beny Pasaribu soal pembuatan tanggal mundur pada dokumen kesimpulan Tim Pemeriksa adalah bahwa ternyata KPPU tidak bisa membuktikan bahwa Temasek telah melakukan monopoli dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Kesimpulan ini lagi-lagi membawa implikasi gugurnya perkara Temasek. 

Sebagai sebuah badan usaha bereputasi terhormat di dunia internasional, Temasek tentu tidak akan diam jika sampai mendapat perlakkan sewenang-wenang. Kemungkinan besar Temasek akan menempuh jalur arbitrase internasional (UNCITRAL) jika sampai dihukum oleh KPPU. Dua dugaan pelanggaran hukum tersebut akan melengkapi peluru Temasek jika harus menempuh gugatan ke arbitrase internasional. Peluru yang sudah saat ini adalah fakta bahwa pada saat divestasi Indosat dilakukan (2002) dimana STT akhirnya membeli saham pemerintah sebesar 41,94 %, pada saat yang sama Singtel telah lebih dahulu memiliki saham di Telkomsel sebesar 35 %. Sementara itu Undang – Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah ada dan berlaku sejak tahun 1999, begitu pula KPPU sudah berdiri sejak tahun 1999.

Artinya jika kepemilikan saham Singtel (35 %) di Telkomsel dan kepemilikan saham STT (41,94%) di Indosat dikatakan monopoli dan hal tersebut dikatakan sebagai pelanggaran hukum maka keadaan tersebut (terjadinya monopoli yang melanggar hukum) sudah terjadi sejak saat terjadinya divestasi. Lantas mengapa pemerintah tidak memberikan informasi tersebut kepada STT? Sebaliknya pemerintah justru mengundang STT untuk ikut ambil bagian dalam proses biding dan menyatakan bahwa Indosat sudah free and clear (tidak ada masalah hukum).

Kepastian hukum yang menjadi syarat masuknya investasi, ternyata tidak bisa diberikan oleh pemerintah Indonesia. Setiap pelaku usaha bisa saja dengan sewenang-wenang dituduh dan dihukum. Pada akhgirnya investor yang sudah ada perlahan-lahan akan meninggalkan Indonesia, dan investor yang akan masuk membatalkan niatnya untuk berinvestasi.


http://federasispbumnbersatu.blogspirit.com/archive/2008/02/14/pelangaran-hukum-dalam-kasus-temasek-skandal-besar-dalam-pen.html

kasus dan penyelesaian masalah (ekonomi dan hukum)


SBY Tersandera Oleh Kasus Hukum & Ekonomi

Jakarta  - KIC : Survey Jaringan Suara Indonesia (JSI) mengumumkan hasil penelitiannya. Dalam  riset yang dirilis lembaga survei  ini, disebutkan bahwa 
pemerintahan SBY-Boediono memuaskan.
Ini tentunya berbeda jauh dengan survei lembaga riset lain yang dalam penelitiannya menyebutkan bahwa legitimasi pemerintahan SBY melorot tajam.
Sebagai perbandingan, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis bahwa citra SBY turun hingga 40 persen. Hal ini disebabkan SBY tidak bekerja sesuai harapan. SBY dianggap gagal mengelola perekonomian, menegakkan supremasi hukum, menguatkan kekuatan diplomasi luar negeri, dan menegakkan demokrasi.
JSI menyatakan, berdasarkan penelitian mereka terakhir pada bulan Oktober 2011, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja SBY-Boediono masih cukup tinggi. Hasil survei mendapati terdapat 53,2 persen responden yang menyatakan sangat puas atau cukup puas pada SBY, dan terdapat 44,8 persen responden yang menyatakan sangat puas atau cukup puas terhadap Boediono.
Meski demikian, jika dibandingkan dengan hasil-hasil survei JSI sebelumnya, terlihat adanya tren penurunan. “Sejak Januari 2010 sampai Oktober 2011, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja presiden dan wakil presiden terus mengalami penurunan. Angka kepuasan pada Januari 2010 sebesar 70 persen, Oktober 2010 sebesar 62 persen, dan Oktober 2011 ini tinggal 53,2 persen,” kata Direktur Eksekutif Jaringan Suara Indonesia, Widdi Aswindi, dalam konperensi pers di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu 23 Oktober 2011.
Survei JSI mengangkat tema ‘Evaluasi Dua Tahun Pemerintahan SBY dan Preferensi Pilihan Parpol dan Presiden’ itu, publik secara aktual menilai bahwa pemerintahan SBY dan Boediono masih belum bisa keluar dari persoalan ekonomi dan hukum. Pencapaian pemerintah di dua bidang itu, jelas Widdi, dinilai masyarakat masih buruk.
Porsi terbesar ketidakpuasan publik pada sektor hukum, menurut Widdi, adalah pada kasus-kasus korupsi, yakni mencapai angka 61,8 persen. Ada pula kasus-kasus spesifik yang mendapat perhatian dari masyarakat.
“Kasus yang menyita publik dan secara langsung dikaitkan dengan kemampuan pemerintahan adalah kasus Century mendapat porsi 73,1 persen, kasus suap Wisma Atlet SEA Games 65,1 persen, dan kasus kecelakaan kapal di sejumlah perairan 61,9 persen. Kasus-kasus tersebut dianggap tidak ditangani dengan baik dan tuntas,” papar Widdi.
Berbagai kasus itu, dia melanjutkan, diperparah dengan tidak terealisasinya janji kampanye SBY dan Boediono pada pemilu 2009. Semua hal itu semakin melemahkan kepuasan publik terhadap pemerintahan SBY dan Boediono. JSI mencatat, dari 15 janji kampanye SBY-Boediono, setidaknya delapan di antaranya memperoleh angka merah karena tidak terealisasi.
Kedelapan janji kampanye SBY-Boediono yang tidak terealisasi itu, kata Widdi, adalah soal pemeliharaan lingkungan hidup, peningkatan ketahanan pangan, pemerataan pembangunan daerah, pembangunan perumahan rakyat dan rusun, reformasi birokrasi dan pemberantasan KKN, peningkatan kesejahteraan rakyat, pengurangan jumlah penduduk miskin, dan pengentasan pengangguran.
Lebih jauh, Widdi menjelaskan, walaupun mayoritas publik, yakni 55,5 persen, masih meyakini kemampuan Presiden SBY dalam menangani persoalan bangsa, namun 50,4 persen di antara mereka terlanjur kecewa dengan harapan yang kadung mereka selamatkan pada pemerintah selama dua tahun terakhir ini.
“Selama dua tahun terakhir, duet SBY-Boediono tidak memiliki tim kerja yang kuat dalam kabinet. Sekitar 43,7 persen responden beranggapan, anggota kabinet yang dilantik pada 2009 tidak layak menduduki posisinya,” ujar Widdi.
Kesimpulan itu ditarik berdasarkan hasil survei JSI yang dilaksanakan pada 10-15 Oktober 2011, dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang. Survei menggunakan teknik multistage random sampling dengan wawancara tatap muka langsung dan menggunakan kuesioner. Margin of error adalah 2,9 persen. “Intinya, sekarang adalah saat yang tepat untuk melakukan evaluasi dan koreksi terhadap pemerintah, untuk mengantisipasi tantangan ke depan,” ucap Widdi. (afv)
http://www.koruptorindonesia.com/archives/9174