Jurnal
Pajak & Akuntansi Tag :Perpajakan Internasional
Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional
Untuk memajukan perdagangan antar negara,
mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk
meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah
satu upaya untuk meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan
penghindaraan pajak berganda internasional.
Teori
Apakah prinsip-prinsip yang harus dipahami dalam
perpajakan internasional?
Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas
yang harus dipenuhi dalam kebijakan perpajakan internasional:
1. Capital
Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita berinvestasi,
beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada bedanya bila kita
berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan sampai bila berinvestasi di
luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena menanggung pajak dari dua
negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24 yang mengatur kredit pajak luar
negeri.
2. Capital
Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun investasi
berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari dalam negeri
atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di
suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama denagn Wajib Pajak
Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent establishment (PE) atau Badan Uasah
Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan ataupun kegiatan jasa yang
melewati time-test dari peraturan yang berlaku.
3. National
Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama.
Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh
dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.
Hasil atau Isi
Mengapa terjadi perpajakan berganda
internasional?
Perpajakan berganda terjadi karena benturan
antar klaim perpajakan. Hal ini karena adanya prinsip perpajakan global untuk
wajib pajak dalam negeri (global principle) dimana penghasilan dari dalam luar
negeri dan dalam negeri dikenakan pajak oleh negara residen (negara domisili
wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi
wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana
penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara
sumber. Hal ini membuat suatu penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama
oleh negara residen lalu oleh negara sumber Misalnya: PT A punya cabang di
Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan pajak oleh fiskus Jepang. Lalu
di Indonesia penghasilan itu digabung dengan penghasilan dalam negeri lalu
dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia.
Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi
dual residen, dimana terdapat dua negara sama-sama mengklaim seorang subjek
pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya yang menyebabkan ia terkena pemajakan
global dua kali. Misalnya: Mr. A bekerja di Indonesia lebih dari 183 hari namun
setiap sabtu dan minggu ia pulang ke rumahnya di Singapura. Mr. A dianggap WPDN
oleh Indonesia dan juga
Singapura sehingga untuk wajib melapor dan membayar pajak untuk penghasilan
globalnya pada Indonesia
maupun Singapura.
Apa saja upaya untuk menghindari perpajakan
berganda internasional?
1. Tax
Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/P3B): yaitu perjanjian antara 2
negara untuk menghindari pajak berganda untuk memajukan investasi antara 2
negara tersebut. Untuk active income, Biasanya negara sumber hanya berhak
memajaki penghasilan dari cabang (BUT) dan penghasilan dari aset tak bergerak
yang berhasil dari negara sumber tersebut. Bila ekspor-impor biasa tanpa BUT
maka negara sumber tidak bisa memajaki. Penghasilan pegawai hanya boleh
dipajaki bila melewati time-test atau dibayar oleh WPDN ataupun BUT. Untuk
passive income seperti deviden, bunga dan royalti, kedua negara berhak memajaki
namun terdapat pengurangan tarif.
2. Kredit
Pajak Luar Negeri: Yaitu jumlah pajak yang dibayarkan di luar negeri dapat
dijadikan pengurang pajak penghasilan secara keseluruhan. Di Indonesia diatur
dalam UU PPh pasal 24. Dimana kredit pajak luar negeri hanya sebatas: Penghasilan LN/(Semua
penghasilan LN dan DN) x PPh terutang untuk semua penghasilan
Apa saja masalah-masalah dalam perpajakan
internasional?
1. Transfer
Pricing: Kegiatan ini adalah mentransfer laba dari dalam negeri ke perusahaan
dengan hubungan istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah. Hal
ini dapat dilakukan dengan membayar harga penjualan yang lebih rendah dari
harga pasar, membiayakan biaya-biaya lebih besar daripada harga yang wajar,
thin capitalization (memperbesar utang dengan beban bunga untuk mengurangi
laba). Misalnya: tarif pajak di Indonesia
28%, di Singapura 25%. PT A punya anak perusahaan B Ltd di Singapura, maka laba
di PT A dapat digeser ke B Ltd yang tarifnya lbh kecil dengan cara B LTd
meminjamkan uang dengan bunga yang besar, sehingga laba PT A berkurang, memang
pendapatan B Ltd bertambah namun tarif pajaknya lebih kecil. Hal bisa juga
dilakukan dengan PT A menjual rugi (mark down) barang dan jasa (harga jual di
bawah ongkos produksinya) ke B Ltd. Di Indonesia, transfer pricing dicegah
dalam UU PPh pasal 18 dimana pihak fiskus berhak mengkoreksi harga transaksi,
penghitungan utang sebagai modal dan DER (Debt Equity Ratio).
2. Treaty
Shopping: Fasilitas di tax treaty justru bukannya menghindarkan pajak berganda
namun malah memberi kesempatan bagi subjek pajak untuk tidak dikenakan pajak
dimana-mana. Misalnya: Investasi SBI di bursa singapura dibebaskan pajak.
Treaty Shopping diredam dengan ketentuan beneficial owner (penerima manfaat)
dalam tax treaty (P3B) baik yang memakai model OECD maupun PBB sehingga tax
treaty hanya berlaku bila penerima manfaat yang sebenarnya adalah residen di
negara yang menandatangani tax treaty.
3. Tax
Heaven Countries: Negara-negara yang memberikan keringanan pajak secara agresif
seperti tarif pajak rendah, pengawasan pajak longgar telah membuat penerimaan
pajak dari negara-negara berkembang merosot tajam. Negara tax heaven yang
termasuk dalam KMK No.650/KMK04/1994 antara lain Argentina,
Bahrain, Saudi Arabia, Mauritius,
Hongkong, Caymand
Island, dll. Saat ini negara
tax heaven sedang dimusuhi dunia internasional, pengawasan tax avoidance
(penghindaran pajak) di negara-negara tersebut sedang gencar-gencarnya.
Berinvestasi di negara tax heaven beresiko besar terkena koreksi UU PPh Pasal
18. Lebih baik berinvestasi pada negara dengan tax treaty.
Analisis Hasil Jurnal
Perpajakan Internasional merupakan alat untuk
mengetahui perbedaan pajak dalam negeri dan memajukan perdagangan antar negara,
mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk
meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Ada
beberapa prinsip-prinsip yang harus dipahami dalam Perpajakan Internasional
menurut Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam
kebijakan perpajakan internasional yaitu Capital Export Neutrality (Netralitas
Pasar Domestik), Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional) dan
National Neutrality.
Sumber
Prof. Gunadi. 2007. Pajak Internasional. LPFEUI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar