Minggu, 08 April 2012

kasus dan penyelesaian masalah (ekonomi dan hukum)


Persepsi Publik dan Geliat Ekonomi Indonesia

Beberapa waktu lalu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei terbaru mengenai “Perubahan Politik 2014: Trend Sentimen Pemilih pada Partai Politik.” Selain melihat tren elektabilitas partai-partai politik terkini, survei itu juga mengukur persepsi publik terhadap kondisi        politik,hukum, dan ekonomi Indonesia mutakhir.     


Melalui survei itu diketahui bahwa persepsi publik terhadap kondisi politik dan hukum di Indonesia terus memburuk. Salah satu sebab utama dari penurunan persepsi publik terhadap kondisi politik dan penegakkan hukum di Indonesia adalah kian maraknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan para elite politik, seperti kasus cek pelawat dan kasus dugaan suap Kementerian Pemuda dan olahraga dalam pembangunan wisma atlet SEA games.
Namun, tidak seperti kondisi politik dan hukum, persepsi publik terhadap kondisi ekonomi Indonesia justru menunjukkan nada positif. Dalam survei yang dilakukan pada kurun waktu tanggal 1-12 Februari 2012 itu terungkap sebanyak 30% responden melihat kondisi ekonomi Indonesia saat ini lebih baik     

Sementara itu, responden yang melihat kondisi ekonomi Indonesia saat ini lebih buruk dan tidak ada perubahan masing-masing sebesar 24% dan 35%. Lalu, 6% responden menjawab tidak tahu/tidak jawab, sebanyak 2% menjawab jauh lebih baik, dan 2% lagi menjawab jauh lebih buruk. Artinya, hasil survei itu menunjukkan bahwa publik sangat mengapresiasi kinerja ekonomi Indonesia saat ini.      

Capaian positif         


Memang, jika kita melihat sejumlah indikator statistik akan tergambar dengan jelas capaian positif ekonomi Indonesia dewasa ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada tahun 2011 perekonomian Indonesia mampu tumbuh mencapai 6,5%. Sementara itu, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2011 atas dasar harga berlaku mencapai Rp7.427,1 triliun dan atas dasar harga konstan (tahun 2000) Rp2.463,2 triliun.    

Selain itu, data BPS juga menunjukkan bahwa jumlah pengangguran secara umum telah mengalami penurunan. Jumlah pengangguran saat ini sebesar 8,12 juta orang atau turun 470.000 orang di bandingkan bulan februari 2010 yang mencapai 8,59 juta orang.         
Kinerja positif ekonomi Indonesia tidak hanya dapat dilihat dari sajian data-data statistik BPS itu. Kinerja positif ekonomi Indonesia juga dapat dilihat dari apresiasi dunia internasional, seperti pemberian peringkat layak investasi (investment grade) oleh lembaga pemeringkat internasional fitch ratings dan moody’s investor service.    

Setelah menunggu selama 14 tahun, Indonesia kembali meraih peringkat investasi dari dua lembaga pemeringkat internasional tersebut. Indonesia kehilangan posisi investment grade sejak tahun 1997 setelah dihantam krisis moneter. Istilah investment grade merujuk pada sebuah peringkat yang menunjukkan utang pemerintah atau perusahaan memiliki risiko yang relatif rendah dari peluang default atau gagal bayar sehingga memiliki tingkat kepercayaan yang berkelanjutan dalam jangka panjang.       

Karena itu, invesment grade diberikan kepada suatu negara yang memiliki fundamental ekonomi kuat, stabilitas politik dalam jangka panjang solid, dan memiliki manajemen anggaran pemerintah serta kebijakan moneter yang prudent. Hal ini ditandai dengan defisit anggaran yang rendah,       rasio utang rendah, dan inflasi terkendali.    

Tidak dapat dimungkiri kunci utama keberhasilan Indonesia meraih peringkat investment grade adalah kemampuan meraih pertumbuhan ekonomi di atas 6% dan menjaga rasio utang terhadap PDB di bawah 25% serta menekan defisit anggaran di bawah 2,5%. Hal itu jelas merupakan capaian luar biasa di tengah carut marut kondisi ekonomi global yang menyebabkan posisi ekonomi sejumlah negara yang dianggap kuat justru ambruk dan mengalami kejatuhan peringkat utang.

Pencapaian peringkat investment grade memiliki nilai sangat penting karena akan berpengaruh pada pandangan dunia terhadap iklim investasi di Indonesia. Posisi Indonesia di mata investor akan semakin menguat sehingga memperbesar peluang untuk bisa meningkatkan kegiatan investasi di Indonesia. Tidak saja di pasar obligasi dan saham, tapi juga penanaman modal langsung akan meningkat. Indonesia akan kian dilirik sehingga arus masuk modal asing akan semakin meningkat dan memperkuat cadangan devisa.  

Kelas   Menengah


Pencapaian-pencapain positif di bidang ekonomi itu juga didukung oleh kian pesatnya pertumbuhan kelas menengah dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Pertumbuhan kelas menengah ditengarai sebagai salah satu pemutar roda perekonomian. Paling tidak konsumsi mereka telah menyumbang 70% dari pertumbuhan ekonomi.

Negara-negara dengan populasi kelas menengah muda produktif cenderung memiliki tingkat konsumsi lebih tinggi ketimbang negara-negara dengan populasi berusia tua. Jika dibandingkan negara-negara berkembang lain, pertumbuhan kelas menengah di Indonesia tergolong sangat cepat. Berdasarkan data Bank Dunia, tahun 2003 jumlah kelas menengah di Indonesia hanya sebesar 37,7%, tapi pada tahun 2010 mencapai 134 juta jiwa atau 56,6 persen.

Selain memberikan keuntung bagi investor asing, keberadaan kelas menengah juga sangat menguntungkan bagi pemerintah. Pemerintah dapat mengambil keuntungan dari fenomena pertambahan masyarakat kelas menengah ini. Salah satu keuntungan yang dapat diterima pemerintah ialah berkurangnya anggaran untuk subsidi. Logikanya kelas menengah tidak lagi memerlukan subsidi.     

Di samping itu, pertumbuhan kelas menengah yang pesat juga akan menguntungkan pemerintah dari sisi penerimaan pajak sebab wajib pajak akan bertambah. Penerimaan sektor pajak ini dapat digunakan pemerintah infrastruktur, fasilitas pendidikan, layanan kesehatan, dan lain-lain.

Akhirnya, hasil survei terbaru LSI sebagaimana penulis ungkapkan di atas telah mematahkan penilaian sinis dan penuh pesimisme dari sejumlah kelompok ekonom selama ini terhadap capaian ekonomi Indonesia di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono. Pencapaian positif kinerja ekonomi Indonesia itu merupakan buah kinerja konkret pemerintahan SBY-Boediono, terutama tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.

Selain itu, hasil survei itu juga dapat dilihat sebagai suntikan moral dari publik kepada pemerintah agar terus optimis dalam membangun perekonomian bangsa dan mengarungi tahun 2012 yang penuh tantangan karena masih dibayangi krisis dan resesi ekonomi global ini.





Hulu Ekonomi dari Kasus-Kasus Pelanggaran Hukum


KASUS HUKUM DAN EKONOMI DI INDONESIA

Hulu Ekonomi dari Kasus-Kasus Pelanggaran Hukum


Akhir tahun 2011 hingga awal tahun 2012, bidang Penegakan hukum menampilkan dinamika yang sangat intens. Berbagai kasus yang bersentuhan langsung dengan publik silih berganti muncul kepermukaan. Sorotan masyarakat juga marak pada keberadaan institusi penegak hukum, kewenangannya maupun  sistem beracara pada lembaga-lembaga tersebut. Penegakan hukum hadir dalam perbincangan di warung-warung kopi hingga menjadi bahan utama media massa dalam menyajikan berita.  Berbagai survey juga hadir menyajikan informasi tentang hukum, baik sebagai bidang yang mandiri atau yang berkaitan dengan bidang lain seperti politik dan pemerintahan. Singkatnya, dunia penegakan hukum benar-benar mendominasi persepsi dan memori publik sehari-hari.
Dengan dominasi yang sedemikian kuat pada ingatan publik, menarik untuk melihat bagaimana rencana pemerintah berkaitan dengan pembangunan bidang hukum pada tahun 2012 sesuai Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2012.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2010-2014, Pemerintah menetapkan 3 (tiga) agenda pembangunan nasional yang merupakan arah kebijakan pembangunan jangka menengah, yaitu : (1) Sasaran pembangunan kesejahteraan; (2) Sasaran pembangunan demokrasi; serta (3) Sasaran pembangunan penegakan hukum. Ketiga sasaran strategis pembangunan nasional yang telah ditetapkan dalam RPMJN 2010-2014 tersebut, selanjutnya dijabarkan secara rinci dan bertahap ke dalam tema-tema pembangunan pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun.
RKP tahun 2012, merupakan penjabaran RPJMN tahun 2010-2014, yang memuat langkah-langkah untuk mendukung tercapainya Visi Indonesia 2014 yaitu, “ terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan”. Tema RKP tahun 2012 yaitu “ percepatan dan perluasan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, inklusif dan berkeadilan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat”.
Untuk melaksanakan misi yang harus diemban dalam RPJMN 2010-2014 guna mewujudkan visi pembangunan 2010-2014, telah ditetapkan 11 prioritas nasional dalam RKP tahun 2012 yaitu : (1). Reformasi birokrasi dan tata kelola; (2). Pendidikan; (3). Kesehatan; (4). Penanggulangan kemiskinan; (5). Ketahanan Pangan; (6). Infrastruktur; (7). Iklim investasi dan iklim usaha; (8). Energi; (9). Lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; (10). Daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca konflik; (11). Kebudayaan, kreatifitas dan inovasi teknologi.
Sejalan dengan tema dan prioritas pembangunan nasional dalam RKP 2012 tersebut, alokasi anggaran belanja tetap dalam koridor diarahkan pada pencapaian empat sasaran utama strategi pembangunan, yaitu : (1). Mendorong laju pertumbuhan ekonomi (pro growth); (2). Menciptakan dan memperluas lapangan kerja (pro job) diantaranya melalui pemberian insentif fiskal guna meningkatkan investasi dan ekspor serta peningkatan belanja modal untuk pembangunan infrastruktur; (3). Memperbaiki kesejahteraan rakyat melalui program-program jaring pengaman sosial yang berpihak pada rakyat miskin (pro poor); (4). Ramah pelestarian lingkungan hidup dan merespon persoalan-persoalan perubahan iklim (pro environment)
Selanjutnya strategi tersebut dijabarkan dalam inisiatif-inisiatif baru, antara lain : (1). Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI); (2). Percepatan pembangunan Papua, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur; (3). Mendorong pelaksanaan program klaster empat dan; (4). Mendorong peningkatan kesempatan kerja;
Pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada angka 4,6 pada tahun 2009, lalu meningkat 6,1 pada 2010 dan 6,5 pada 2011. Angka-angka tersebut merupakan bagian dari grand design pemerintah yang ingin menciptakan kondisi negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara US$ 14,250 – US$ 15,500 dengan total nilai PDB antara US$ 4,0 Triliyun – US$ 4,5 Triliyun. Untuk itu, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4-7,5 % pada periode 2011-2014 dan sekitar 8,0-9,0 % pada periode 2015-2025.
Dalam Nota Keuangan tersebut nampak bahwa dunia penegakan hukum, demokrasi ataupun keamanan dan ketertiban tidak masuk 11 prioritas minimal tahun 2012. Sesungguhnya sikap memandang “sebelah mata” persoalan dunia penegakan hukum telah terlihat dari tema RKP 2012 yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Bahkan para analis menyatakan bahwa selama beberapa tahun terakhir hukum telah mengabdikan dirinya untuk kepentingan ekonomi. Pemerintah selalu memasang logika bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berimbas pada penurunan tingkat kemiskinan sekaligus peningkatan jumlah orang sejahtera. Logika ini masih menjadi perdebatan yang hangat bagi para ekonom. Bagi kalangan ekonom yang menyanggahnya, tesis ini tidak mutlak benar dari sisi pragmatis karena pertumbuhan ekonomi seperti yang terjadi di Indonesia hanya menguntungkan segelintir masyarakat dan membenamkan sebagian besar yang lain ke jurang kemiskinan. Inilah yang disebut “bubble economic”. Tidak mengherankan, disaat pemerintah melansir pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, masyarakat kecil juga terus-menerus mengeluhkan kesulitan hidup menjangkau harga-harga.
Sikap pemerintah yang lebih mengedepankan aspek ekonomi dalam setiap RPK pada implementasinya di lapangan memantik sejumlah masalah. Dengan mendahulukan pertumbuhan ekonomi, pemerintah tentu saja akan memberi insentif-insentif khusus pada dunia usaha. Insentif itu tidak hanya berkaitan dengan keringanan pajak ataupun kemudahan birokrasi melainkan juga perlindungan dari sisi keamanan dan gangguan berusaha. 
Celakanya, perlindungan terhadap keamanan ini ditafsirkan secara membabi buta, sehingga ketika terjadi persengketaan dengan masyarakat setempat, pemerintah secara jelas mengambil posisi di belakang para pengusaha. Atas dalih investasi, masyarakat lokal setempat harus menanggung resiko ditembaki atau diusir dari wilayahnya. Sengketa agraria yang terjadi menjadi tidak seimbang karena pemerintah yang seharusnya menjadi penengah, malah ikut mendukung salah satu pihak. Kasus Mesuji bagaikan pucuk dari suatu gunung es. Negara ini seringkali menghadapi sengketa yang serupa, mulai dari sengketa tanah ulayat PT. Freeport di Papua, PT. Lonsum di Sulsel, izin kuasa Pertambangan di Raba Bima ataupun PT. Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara.
Dalam setiap sengketa antara perusahaan dan masyarakat setempat, pemihakan pemerintah selalu menimbulkan persoalan menjadi lebih luas. Rangkaian kasus-kasus kekerasan terhadap warga seringkali menggeser persoalan sengketa agraria yang privat menjadi persoalan kekerasan yang memancing kemarahan publik. Media lalu memblow up kasus-kasus kekerasan yang terjadi sehingga melupakan persoalan yang sebenarnya yaitu pemihakan pemerintah yang terang-terangan pada pelaku dunia usaha. Dalam konteks ini, sebenarnya Negara bukan tidak hadir melainkan melakukan pemihakan secara nyata
Suatu pertumbuhan ekonomi seringkali mengambil posisi vis a vis dengan hukum. Tidak salah kalau Jusuf Kalla (JK) pernah mengatakan kalau ekonomi diibaratkan sebagai tuas gas dalam mobil maka hukum adalah tuas rem. Keduanya adalah instrumen penting bagi pencapaian tujuan dan keselamatan.  Keberadaan salah satu instrumen tidak boleh menihilkan instrumen lain. Keduanya harus bekerja sama dalam suatu kondisi yang kondusif. Sopirlah yang harus pandai-pandai memainkan peran agar keduanya berfungsi secara cermat dan menciptakan hasil yang positif.
http://muhammadismet.blogspot.com/2012/01/hulu-ekonomi-dari-kasus-kasus.html